Cerpen buatan sendiri!

Ini tempat buat cerpen buatan sendiri...
Yang aku masukin berikut cerpen filosofi...


“Aku ada di sini karena kebencian…”

Kata-kata itu terus terngiang di dalam kepalaku. Aku begitu terpana akan kata-kata yang diucapkannya minggu lalu itu, sehingga tak mampu menghapus suara itu. Suara itu terus membayangi pikiranku di manapun dan kapanpun. Kata-kata itu mempunyai arti yang besar bagiku. Aku berharap seandainya saja ia tak pernah mengucapkan kata-kata itu. Mungkin sekarang aku akan hidup dengan lebih ceria.

Semua berawal dari pertemuanku dengannya. Dulu, aku ingin sekali berkenalan dengannya. Akhirnya momen itu kualami. Tapi sekarang, aku menyesali keinginanku itu.

“Hei! Sadar!”

“Eh, yah! Apa?”

“Kamu ini melamun terus dari tadi! Ada apa?”

Aku ingin sekali menceritakan semua masalahku kepadanya. Namun aku tidak sanggup mengucapkan barang sepatah kata pun.

“Tidak. Tidak ada apa-apa.”

“Aku sudah mendapatkannya!”

“Mendapatkan apa?”

“Aduh, masa’ kamu lupa?! Itu! Nomor telepon si ‘itu’!”

“Oh, ya! Mana?”

“Nih!”

Di rumah, aku memencet nomor yang tertera pada tulisan dalam kertas yang ia berikan kepadaku.

“Halo?”

“Euh, bisa bicara dengan Adrian?”

“Bisa. Tunggu sebentar.”

“Halo?”

“Halo? Ini Adrian?”

“Ya. Ini siapa, ya?

Aku begitu terpana akan suaranya. Sehingga tak mampu berkata-kata. Maka telepon pun kututup. Aku kembali memikirkannya. Begitu ingin aku berkenalan dengannya. Banyak cerita yang menakjubkan tentangnya. Sejak itu aku selalu menjadi salah tingkah setiap kali melihatnya. Begitu bodohnya aku.

Hidup terus berjalan walaupun aku tidak menginginkannya. Bumi terus berputar walaupun aku berusaha menghentikannya. Manusia terus bergerak walaupun halangan menghadang.

Aku bertanya kepada Tuhan, mengapa hidupku seperti ini? Namun aku tak kunjung mendapatkan jawaban dari-Nya. Aku terus menunggu dan menunggu. Ia tak pernah lagi menampakkan diri-Nya kepadaku.

Kebencian datang menyerang jiwaku dari segala penjuru. Dosa mengambil alih otakku dan pikiranku. Aku tidak lagi berdaya. Aku lemah, dan kusadari itu. Namun aku tak bisa berbuat apa-apa.

Manusia yang hidup hanya dibenci oleh orang lain tidaklah hidup. Aku termasuk ke dalam salah satunya. Aku tidak tahu lagi apa yang telah aku perbuat. Aku tidak tahu lagi apa yang sedang kuperbuat. Aku tidak tahu lagi apa yang akan kuperbuat.

Kehidupan hanya sekali. Itu yang sering diucapkan orang-orang kepadaku. Aku tidak setuju. Hidup adalah kekal. Hidup tak pernah berakhir. Hidup itu abadi. Tak pernah kubayangkan aku hidup hanya untuk membuat orang lain menjadi makam bagi kebencian. Namun itulah kenyataannya.

Mungkin Tuhan sudah beberapa kali berusaha masuk ke jiwaku. Namun aku mengacuhkan-Nya. Namun aku menolak-Nya. Namun aku menjauhi-Nya. Seperti itulah hidup yang kujalani.

“Aku ada di sini karena kebencian…”

Tak pernah kusangka akan kudengar kata-kata yang seindah itu. Tak kusangka akan kudengar kata-kata yang sesuai dengan diriku. Tak kusangka akan kudengar kata-kata yang begitu merasuk ke dalam jiwaku.

Arti dari kata-kata itu tidak kuketahui hingga aku menyadarinya. Arti dari kata-kata itu tidak kusadari hingga aku menemukannya. Arti dari kata-kata itu tidak kutemukan hingga aku mengetahuinya.

Aku tahu apa yang harusnya kuperbuat, namun aku melakukan yang lain. Aku tahu apa yang harus aku perbuat, namun aku tidak melakukannya. Aku tahu apa yang akan harus kuperbuat, namun aku tidak akan melakukannya. Tidak pernah aku berlaku sesuai dengan yang seharusnya kulakukan. Tak pernah aku begitu membahagiakan orang lain seperti aku tak pernah membahagiakan diriku sendiri.

Aku selalu membuat orang lain sedih. Aku selalu membuat orang lain tidak merasa bahagia. Aku selalu membawa kebencian bagi orang lain atas diriku. Kebencian yang datang karena tingkahku. Kebencian yang datang karena kelakuanku. Kebencian yang datang karena kata-kata yang keluar dari mulutku.

Akhirnya aku pun mendapatkan jawaban daripada-Nya. Aku pun menyebarkan perasaanku ini kepada orang lain yang bernasib sama denganku. Aku akan menyebarkannya di manapun ku berada karena hanya dengan itu orang yang benar-benar membutuhkan kata-kata itu akan mendapatkannya.

Kan kuberitakan kepada dunia.

“Aku ada di sini karena kebencian...”

He he he...
Gimana?
Bingung, ya?

pusing...

a true story of yourself?

ceritain yang lengkap donk...

Itu juga namanya cerpen filosofi!
Ya udah segitu abis!
Cerpen berikutnya kalo aku lagi sedih lagi...

.. kenapa ga dari idup kmu trus dibukukan?

Itu namanya autobiografi...
Aku bikinnya cerpen!

cerpen yang jalan ceritanya dari diri kmu ndr...
gtu

Nanti akku buat ceritanya kalo lagi sedih...

iya2..

aku tunggu..

ato.... g buat kmu sedih gmn?

gw males baca ja..
tp pasti gw baca lah.. tenang aja..

Tapi cepet...
Aku dah mau ngepost cerpen lagi...

gue juga lagi males bacanya ja... ntar aja ya!! hehe!!! =B

g mah dah, baca

tapi emank sih, pas pertama kali g liat, dah merinding... panjang bgt

sebelon gw baca..
jangan ada cerpen baru lagi oc.. :devil:

terserah si baja donk

klo dia lg sedih psti ide muncul secara tiba2...

Ehehehe...
Kapan aku bisa tau SIlz_pong udah baca ato belom?

ja, klo ga, buat dulu di notepad..

klo smua dah pada baca, baru kmu post

Emang aku buat dulu di Microsoft Word...
Emangnya aku langsung ngetik di sini?
Cape, deh... (www.gaya.capedeh.com)
Di-save, kok!
Jadi kalo mo diliat sekarang tanpa buka internet juga ada...
Tapi sekarang belom nulis cerpen yang baru...
Lagian kenapa di notepad?
Aya-aya waé...

biar gampang n cepet bukanya, daripada di ms word. pa lagi yang 2007.. lama BO!!!

Yah, itu kesalahan ada pada komputer Anda bukan Ms Word nya...
Tar, hari ini aku mo ngepost cerpen lagi...

Ja, maksudnya cerpen filosofi itu apa?

baja... gue udah baca.... ica ga nyangka... Ckckckckckc.... lucu juga!

Kok lucu, sih???
Yang berikutnya aku mo ngepost tentang :CINTA...

“Ha ha ha ha ha!! Gila juga!!”

“Ooh, jadi ternyata kita sama-sama gila, ya??!!”



Nerian dan Radja tertawa-tawa bersama.



Kemudian bel pulang sekolah pun berbunyi. Murid-murid pun membereskan buku-buku mereka, ke dalam tas. Mereka bersiap-siap untuk mengikuti pelajaran olahraga di GOR.



“Ya! Satu-dua-tiga-satu. Satu-dua-tiga-dua…” Guru olahraga sedang mengajar para murid.

Tak terasa waktu pun memaksa mereka berpisah.

Setelah berdoa pulang mereka kembali ke kelas untuk berkumpul bersama-sama.



Selang beberapa saat, tersisa dua orang di kelas. Mereka menghabiskan waktu bersama bermain catur.



“Yul, giliranmu, tuh! Jangan SMS-an aja!”

“Oh, iya… Hmmm… Nih!”

“Hah? Beneran ke situ?? Ga nyesel??”

“Hah? Ya, gak lah… Emangnya kenapa? Cepet jalan!”

“Ya udah, nih! Skakmat! Ha ha ha ha!!!!”

“Hih! Kalo menang itu ga usah ketawa kaya gitu!! Aku benci tau! Sama kaya cara ketawa Nerian! Jelek!! Hmph! Ini serius! Aku benci kamu!”



Yuli pun meninggalkan Radja seorang diri terbengong-bengong karena bingung.



“Aku salah apa, gitu?? Ah, dasar perempuan…”



Sejak saat itu Radja pun berusaha untuk tidak membuat Yuli membencinya lagi. Ia sering membantu Yuli hal-hal yang tidak penting, jadi Radja terlihat seperti pembantu. Yuli sih tidak menolak. Bantuan gratis? Kenapa ditolak?






Waktu pun berlalu dan tak terasa sudah waktunya bagi anak-anak seangkatan untuk pergi berwidyawisata. Mereka pergi ke Gunung Tangkuban Perahu melihat kawah-kawah di sana.



“Radja! Bawain, nih! Berat…”

“OK! Ugh, bawa apa aja, sih?? Berat banget…”

“Ah, none of your business!”



“Ayo! Siap! Eh, itu si Gilang kurang keliatan! Kepotong, nih…”

“OK! OK!”

“Siap? Satu… Dua… Tiga!”

“Udah? Mana? Mana?? Wih, bagus juga, nih! Lihat! Si Radja ama Yuli kaya orang pacaran! Liat, nih! So sweet…”

“Eh, mana? Masa’?! Liat, liat!”

“Ah, iya gitu?! Aah, jangan diliat! Hapus! Hapus!”

“Ah, udahlah… Itu ketua rombongan manggil!”



“Ada apa, Pak? Kok disuruh ngumpul lagi??”

“Gini, nih… Kayanya hari ini ga bisa diterusin jalan-jalannya… Udah mo hujan… Tuh liat, udah gerimis, trus awannya mendung, gitu…”

“Yaah, bapak! Bentar lagi, ya? Ya, pak, ya???”

“Hhh, ya udah. Tapi sebentar saja, ya?! Saya tunggu di bis! Jangan tunggu hujannya deras, ya!”

“OK, Pak!”



Para murid pun meneruskan melihat-lihat di sekeliling kawah. Tiba-tiba hujan menjadi deras begitu saja. Murid-murid segera berlari menuju bis.



“Ayo! Cepetan!”

“Eh, tunggu! Kameranya ketinggalan! Tungguin!”

“Aduh, Yuli… Ya udah, aku tungguin!”



Yuli pun mengambil kameranya dan segera berlari. Dan Radja yang telah menunggunya pun ikut berlari. Namun tiba-tiba Radja terpeleset dan terjatuh dari jalan setapak tepi gunung yang menghadap ke jurang. Ia masih sempat berpegangan pada sebatang dahan, namun dahan itu tidak tampak cukup kuat. Yuli mencoba menolong, tapi dahan itu terlalu jauh untuk diraih. Murid yang lain sudah di salam bis dan tidak bisa melihat kejadian ini.



“Radja!! Pegangan yang kuat! AKu mo panggil guru dulu!”

“Ah, udahlah Yul! Percuma! Dahan ini akan patah tar lagi… Aku bakal mati tar lagi…”

“Eh! Jangan mikir kaya gitu! Aduuh, gimana, nih? Hujannya juga udah makin deras…”

“Kamu pergi aja ke bis! Jangan nolongin! Nanti kamu jatuh juga! Biar aku sendiri yang jatuh!”



Yuli pun menangis putus asa. Ia bingung mau melakukan apa.



“Radja!! Jangan ngomong kaya gitu, ah! Nih! Coba pegang tanganku!”

“Uh, ga nyampe! Ah, udahlah… Biarin aku mati. Tapi sebelumnya aku punya satu pertanyaan buat kamu…”

“Hah? Jangan macem-macem! Cepetan pegang tanganku!”

“Apakan kamu masih benci ama aku??”



Yuli terkejut mendapatkan pertanyaan seperti itu.



“Kamu ngomong apa, Radja?! Jangan ngomongin yang ga penting!”

“Ini penting! Aku ga bisa mati dengan tenang sebelum kamu jawab itu!”



Dahan tempat Radja berpegangan pun semakin patah dan hanya bergantung pada sebagian kecil kayu.

“Yuli!! Cepetan jawab!”

“Uh! Kalo kamu maksa jawab! IYA!! Aku benci ama kamu! Kenapa kamu mau melakukan hal bodoh kaya gini!!!”

“Kalo kamu smpa ngomong kaya gitu berarti kamu perhatian ama aku. Aku anggap itu tanggapan positif terhadap perasaan aku ama kamu…”

“Hah? Maksud kamu…”

“YA! Aku suka ama kamu!!! Tapi aku sudah senang mengetahui kamu perhatian ama aku… Ya udah! Cepet kembali ke bis!”



Dan dahan pun patah. Radja terjatuh ke dalam jurang dengan tersenyum.



“Radjaaa!!! Aku juga suka sama kamu!!!! Radjaaa!!!!”



Tiba-tiba petir menyambar tak jauh dari tempat Yuli berdiri. Yuli pun terkejut dan ikut jatuh ke dalam jurang. Namun kini ia tak sedih lagi. Ia senang bisa menemani Radja di alam sana.






Keesokan harinya, setelah tim pencari berusaha sekian jam. Mereka menemukan kedua murid tersebut. Mereka berdua ditemukan dalam keadaan yang mengejutkan. Radja ditemukan tewas karena kepalanya membentur batu. Sedangkan Yuli ditemukan tewas karena tusukan dahan di perut dengan posisi seperti sedang menangis di samping Radja. Setelah diselidiki, ternyata setelah mengetahui Yuli juga jatuh, Radja mengatur posisinya sehingga Yuli tidak jatuh membentur tanah, melainkan dirinya sebagai alas. Sedangkan Yuli mengetahui Radja telah mati bunuh diri dengan menusukan dahan yang dipegang Radja ke perutnya…

Spoiler:

dodol!! buat pa si yuli bunuh diri?! apa dia gak tau, sbg co yg mencintainya, radja pasti pgn dia hidup bahagia, ga mati bunuh diri n akhirnya misah.. radja bisa ja masuk surga, tapi yuli pasti masuk neraka... cape deh!!!

Namanya juga cerita...
Aku lebih suka kalo pemeran utamanya mati semua...